1- Kenapa umat Patani bangkit berjuang melawan Siam ? Kerana tuntutan oleh naluri manusia supuya berbuat demikian , sebab kedatangan Siam ke Patani adalah Haram ,
kerana negara Siam berdasarkan EXPANSI dairah , atau cinta perluasan dairah; olehitu pada tahun 1786 mesihi Siam melakukan tindakan pencerubuhan terhadap nagara Patani . lalu jatuhkan Patani ketangan Siam , sejak kekelahan itu Patani dijajah , ditindas,dirampas hak asasi manusia, dizalim , diperbudakan, dibakar hidup-hidup , diselam air , dikambus hidup ditangkap sebagai tawanan perang menjadi buruh paksaan dan hamba abdi , dipenjara dan dihalau keluar negeri .
2- Landasan gerakan kemerdekaan Patani
A : Patani Daral harbi : kerana di jajah kapir bangsa Siam , peperangan dinegeri Daral harbi adalah pardu aini , hal ini telah bersepakat seluruh ulama Islam 4 Mazhab mengatakan bahawa ” Jihad kemerdekaan adalah pardu aini bagi seluruh umat lelaki dan perempuan apabila negeri di cerubuh , dijajah, ditindas dan dizalim .
B : Piagam PBB.telah menetapkan bahawa bagi tiap-tiap bangsa yang terjajah hak menentu nasibnya sendiri , serta meningkatkan penghargaan atas hak asasi manusia dan dasar kemerdekaan untuk setiap orang , justeruitu lahirlah gerakan kemerdekaan national diseluruh dunia , di Asia,di Afrika dan Latin Amerika .
C : Berdasrkan perkara diatas Umat Islam Patani bangkit menunaikan kewajiban memerdekakan tanah air yang terjajah dan masyarakat tertindas oleh kaum penjajahan yang terkutuk , maka gerakan kemerdekaan Patani ini adalah merupakan suatu gerakan yangdipardukan kepada seluruh umat Islam Melayu Patani .
F : Jika ada dikalangan umat Islam Melayu Patani yang sekungkul dan mendukung kaum pencerubuh dan penjajah bangsa Siam serta memberi pengiktirafan raja Siam dan permaisurinya sebagai bapa dan ibu dan sanggup mengaku dengan ikhlas bahawa dirinya berbangsa Thai ,berketurunan Thai dan berwarga nagara Thai adalah orang ini RADDAH ( martad ) mendarhaka kepada agama,bangsa dan tanah air .
3 – Hukum jihad menurut shariat Islam :
A : Peperangan diantara nagara Daral Islam dengan nagara Daral kuffar maka berlakulah segala wasiyat Abu Bakar alsiddik kepada penglima Usamah dan tentera-tenteranya ; iaitu wasiyatnya melarang bunuh kanak-kanak , orang tua , orang perempuan , orang lemah , toksami , memutong pukokkayu tanaman , bakar rumah, sembelih binatang ternakan, menyiksa tawanan perang dan cingcang mayat.
4 – Perspective dunia terhadap gerakan kemerdekaan Patani
A : Orang-orang Siam mencerubuh, menjajah, menindas, membunuh , membakar hidup-hidup kambus hidup-hidup juga diselam hidup-hidup , dihalau keluar negeri seperti binatang ( di lakukan semua ini oleh Pukong Sharot keatas penduduk dairah Bacok dan Yingo, Pukong Sampech keatas penduduk dairah Saiburi ) terhadap orang -orang Patani , tetapi mereka berada dipihak yang benar dan adil . Disebaliknya jika orang-orang Patani melakukan tindakan yang sama keatas orang-orang Siam pencerubuh itu selalu dianggap oleh pemberita dan media amnya sebagai pengganas , kejam dan zalim.mengapa??!
B : Orang-orang Siam menghantar askar-askarnya dan kelengkpan alat perang yang cukup bawa masuk kenegeri Patani yang bertujuan memerangi orang-orang Patani, membunuh , menyiksa dan menangkap kepenjara , mereka dianggap sebagai benar dan adil . Tetapi jika orang-orang Patani mengadakan tindakan atau serangan dinegeri Siam mereka dianggap penjahat dan pengganas .
C : Orang-orang Siam membunuh berapa banyak guru-guru agama Islam Patani dan dibawakepenjara dengan tanpa kesalahan , maka dianggap semua itu benar dan adil?! Tapi mengapa jika orang-orang Patani membalas dengan tindakanyang hampir sama dengan kezaliman-kazaliman yang pernah mereka kerjakan itu selalu dianggapkan ganas ,jahat dan kejam .
Konferensi tentang Cara Agamawan Membantu Membangun Perdamaian di Thailand Selatan:
Catatan Lapangan
Dr Dennis Walker, Monash Asia Institute,
Monash University, Australia
Sejak April 2004, Thailand Selatan (Kesultanan Muslim Patani di masa yang lalu) selalu bergolak akibat serangan pemberontak Muslim terhadap kekuatan bersenjata dan institusi-institusi pemerintah Thailand, dan juga serangan balasan yang dilancarkan pemerintah kepada mereka. Peledakan tahun 2004 dan kekerasan yang secara terus menerus berlangsung hingga sekarang datang sesudah satu dekade “tenang” di Selatan di mana kelompok-kelompok sempalan nationalism Islam berhenti melakukan serangan , dan beberapa orang Patani Muslim masuk dalam daftar electoral partai politik yang plural yang berkembang di Bangkok setelah beberapa dekade kudeta.
Sistem Thailand yang “diliberalkan” telah memiliki pencapaian2 yang kongkret di Thailand Selatan yang menawarkan beberapa kesempatan modernisasi bagi kaum Melayu Muslim di Patani. Hal itu bagaimanapun dapat menjadi jelas apabila kita meninjau kembali bahwa didalam dekad tahun2 1990an Sistim Pemerintahan Thai tidak sepenuhnya belajar kepada beberapa pelajaran: sistem pembatasan2 terhadap Islam amatlah mudah dalam beberapa hal, akan tetapi pemaksaan Negara Thailand agar bahasa Thai menjadi satu-satunya bahasa tulis sebagai ganti bahasa Melayu telah dibayar dengan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang Buddha Thai terus merupaykan kebanyakan pegawai kerajaan di Selatan di-Selatan Thailand.
>Warga Melayu yang banyak di-Selatan Thailand (Patani) menginginkan solusi kompromis atas konflik, yang akan memelihara hal-hal positif dari dekad ketenangan seperti pembangunan infrastuktur, sebagaimana pemerintah Thailand telah memberikannya. Sistem Thailand pada period yang lebih liberal, di mana politisi sipil Thai lebih dominan daripada tentara, telah memberikan pendidikan secara massal dan modern kepada banyak warga Patani. (Perlu ditegaskan ini bukan pendidikan yang didesain untuk meninggalkan bahasa Melayu berwujud di-Patani dalam jangka panjang). Sebagaian orang Melayu dan Buddha menjadi kolega [rakan se-kerja] yang saling membangun. Orang-orang Patani moderat dan orang-orang Thailand moderat ingin mengamankan pencapaian2 ini dari gangguan kekerasan, para nasionalis ekstrem pemberontak, dan beberapa institusi pemerintah Thailand yang nationalist dan extrem juga. Kelompok Liberal dari kalangan Buddha melangkah maju ke arah perdamaian dengan Patani untuk keluar dari konflik , menuju kerjasama dan menyatukan komunitas Thai secara lebih serius masa-masa ini daripada wuktu yang lalu.
>Lima tahun setelah pecahnya kekerasan di Thailand Selatan, proses membangunkan perdamaian mulai dipercepat. Hal ini tercermin secara baik dalam konferensi “Religions for Peace in Southern Thailand” (Agama-Agama untuk Perdamaian di Thailand Selatan) yang diselenggarakan di C.S. Hotel Kota Patani mulai 18-19 Mei 2009. Konferensi itu melibatkan lingkaran atas pimpinan agama Buddha dan Islam, serta pejabat pemerintah dan militer Thailand. Sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan kerajaan Thailand, konferensi itu terlaksana di bawah pengawasan the World Council of Religions for Peace (Majlis Agama-Agama untuk Chapaikan Perdamaian Dunia) sebuah badan yang berafiliasi kepada PBB yang selama 40 tahun berupaya untuk memberikan bantuan guna menciptakan perdamaian di negara-negara yang dilanda konflik. Peserta inti dalam konferensi itu melakukan launching sebuah badan Inter-Religious Council for Peace in Southern Thailand yang memiliki anggota 20 orang, dengan komposisi dua pertiganya adalah tokoh2 Agama Budha dan Islam dari Thailand Selatan.
>Alasan pecahnya perang mini di Thailand Selatan sangat banyak dan kompleks. Umat Islam diwilayah itu mengalami kemiskinan dan pengangguran yang lebih tinggi daripada yang lain. Dan adanya arus-arus militan yang mengatasnamakan agama untuk mewajarkan diri, baik di kalangan Buddha maupun Muslim: semua itu menjadi faktor terjadinya perang. Beberapa analis Barat mengaitkan kekerasan itu dengan ajaran agama terutama konsep Jihad di dalam Islam. Satu isu penting dalam segi itu ialah, apakah forum konferensi ini dapat mendesak kalangan Islam dan Buddha untuk berbicara secara terus terang tentang tradisi agama mereka di Thailand, suatu hal yang dapat mengantarkan mereka keluar dari nasionalisme sempit dan kebencian antara satu pihak dengan yang lain.
Agamawan Budha
>Agama Buddha di Thailand memiliki kepelbagaian yang tinggi. Selama berabad-abad, Sistem Thailand pecahan-pecahkan benang-benang dari Agama Buddha yang kemudian di-bentukkan sebagai wacana kesatuan yang memberikan justifikasi terhadap penaklukan-penaklukan dan kekuasaan tentera diatas kaum-kaum yang lain. Akan tetapi, kitab-kitab suci agama Buddha dapat menjadi perkakas yang bagus bagi analisis psikologis yang dapat memberikan kritik terhadap nasionalisme etnis. Agamawan Budha Phrakru Srijariyaporn mendedahkan ilusi konflik di forum tersebut: “masing-masing kelompok selalu memberikan kepada anggota-anggotanya informasi yang semakin keliru tentang yang lain bahwa mereka akan datang untuk melukai atau membunuh kita, menebar ketakutan yang dapat mengakibatkan penderitaan. Kita semua menginginkan kebahagiaan dan untuk itu diperlukan informasi yang benar, semua harus saling bertukar kebenaran yang seutuhnya agar dapat dimengerti oleh dua pihak kedua-duanya”.
>Presentasi Srijariyaporn merupakan analisis yang objektif dan hebat. Ia dapat membidik gambaran psikologis kelompok-kelompok yang terlibat konflik di Thailand Selatan. Agama Buddha dapat mendorongnya keluar dari situasi kelompok yang merupakan asal-usulnya. Asumsinya bahwa semua konflik adalah ilusi, walapun itu membuatnya tidak dapat menyoroti konflik kepentingan2 ekonomi dan social, dan perjuangan kultur-kultur yang tidak cocok, akan tetapi “ilusi-ilusi” itu telah turut menyuburkan konflik antara Buddha dan Muslim di Thailand Selatan. Posisi ini sebenarnya dapat melemahkan potensi agamawan Budha yang tidak berpihak sebagai mediator konflik.
>Pengalaman memediasi yang dilakukan para biarawan liberal Budha pada kesempatan sebelumnya barangkali tidak dapat membekali mereka untuk menghidupkan kembali perdamaian di Patani.
Agamawan Muslim
>Isma’il Lutfi Capakiya, Rektor Universitas Islam Yala, selama bertahun-tahun lebih memilih bekerjasama dengan sistem di Thailand daripada melawannya. Hal itu telah menimbulkan kebencian bahkan ancaman kematian dari kalangan Muslim Patani yang menginginkan “Jihad untuk kemerdekaan”. Dalam tulisannya dalam bahasa Arab dan Melayu, dia berargumen bahwa Islam Klasik mengijinkan hubungan kerjasama antara Muslim dengan pemeluk agama Budha atau yang lain, kendati motif teks2 suci dan generasi pertama Islam yang di-petikkan oleh dia tidak cukup menunjukkan adanya bukti yang valid dalam membangun kebangsaan dengan penganut Buddha dalam satu kesatuan Negara yang benar-benar terintegrasi, didalam sejarah Islam.
>Dalam sambutannya yang penuh semangat di konferensi itu, Lutfi bahkan mengembangkan lebih jauh ke arah komunitas humanis antara Muslim dan penganut Budha yang akan mempertemukan mereka pada titik yang dalam. Mereka semua yang datang disebut sebagai “saudaraku” olehnya. Mengembangkan proses perdamaian di Thailand Selatan sesuai dengan prinsip perdamaian yang Islam menuntut keterlibatan semua aspek kehidupan. ”Semua manusia adalah saudara, ciptaan Allah. Kitab2 Suci agama2 yang lain juga berpendirian seperti itu. Muhammad diutus sebagai nabi bukan hanya untuk umat Islam akan tetapi untuk semua manusia, yang semuanya adalah seperti anak-anak untuk Allah. Muslim yang menolak untuk berbicara dengan pemeluk agama lain berarti telah berdosa sebab mereka juga di-khalqkan oleh Tuhan. Qur’an memperkenankan Muslim untuk berperang hanya melawan musuh bersama yaitu setan, bukan manusia.
>Ismail Luthfi menggunakan bahasa yang bergelombang untuk menarik semua orang di Thailand dalam projek itu. Apakah ia terbawa emosi ataukah terteror seperti semua faction2 yang ada di Thailand Selatan? Ketika saya berbicara dengannya saat ia hendak meninggalkan tempat acara, itu memperlihatkan bahwa dia adalah sosok yang sangat cerdas, kuat dan dingin intelegensinya, dan dengan mudah dapat menangkap hubungan politis-nya dengan saya sebagai seorang peneliti Barat yang sedang menulis satu buku tentang masalah bahasa dan identitas di negaranya. Dia amat cerdas sebagaimana terlihat sebelumnya.
>Pidato Dr. Ismai’l Ali Rektor Fakulti Kajian2 Islam (Kulliat ud-Dirasat il-Islamiah) di Universitas Prince of Songkla Patani, berupaya mengaitkan sebab-sebab konflik dengan sistem Thailand yang harus diubah. Ia mengesampingkan explikasi biasa dari konflik itu. Agama tidak menyebabkan penderitaan di Patani akan tetapi diskriminasi dan pemisahan orang Islam oleh sistem Thailand dan di masyarakat Thailand yang telah terpecah: segi2 kezaliman ini dia yang merupakan penyebab penderitaan dan pergaduhan di Selatan Thailand. Umat Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk Islam, kerana Islam mengajarkan agar menghormati pemeluk agama lain. “Beberapa akademisi mengatakan bahwa konflik bersumber dari sejarah” [yaitu tentang cerita kejayaan dan kemuliaan Kesultanan Patani sebelum penaklukannya oleh Keraan Siam] “akan tetapi saya menyatakan bahwa sebab utama konflik ini adalah ketidakadilan yang terjadi di semua peringkat/level”. Untuk menyerukan agar Sistem Thailand memperlakukan Patani secara adil sebagaimana warga Thailand lain termasuk dalam anggaran/funding, Ismail Ali mengambil kesatuan nasionalisme Thailand: “Kita semua adalah bangsa Thailand”. Dia bagaimanapun menyadari bahwa kultur, bahasa, dan agama di antara mereka berbeda, “akan tetapi pemerintah mesti memperlakukan kita secara adil sebagaimana warga Thailand yang lain” dalam alokasi berbagai sumber2 dan peluangan2.
>Ali meminta maaf kepada orang-orang Budha di Thailand Selatan atas kekerasan yang menimpa mereka: Umat Islam dahulu tidak pernah memiliki persoalan dengan agama lain dalam hal cara hidup. Di kataannya ini, Isma’il ‘Ali tidak mendengarkan tuntutan2 organisasi2 nasional Patani pada tahun 1970-an dan 1980-an bahwa kerajaan Bangkok harus menghentikan kirim para peneroka Budha kepada Patani. Pada akhirnya, Ali mengakui bahwa para pemberontak pada titik tetentu berhasil menciptakan konflik agama antara Muslim dan tetangganya yang beragama Buddha. Mereka berusaha menggunakan ajaran agama untuk menjustifikasi aksi-aksi kekerasan mereka. Pada titik ini mereka menyamai organisasi-organsasi di Irlandia yang membawa agama untuk menjustifikasi kejahatan politik antara penganut Katolik dan Protestan. Ismail Ali menghalangkan mereka dengan gagasan-gagasan Kristen atau Teosofi: barangkali prinsip2 Islam sama dengan sebagian prinsip2 yang ada dalam agama Budha: ia memiliki teman seorang biarawan Buddha.
>Dr. Isma’il ‘Ali dan Dr. Isma’il Lutfi termasuk akademisi yang memperoleh didikan Arab Saudi dan yang berupaya mengembangkan sistem post modern (dalam IT dan bahasa Inggris) melaui membangunkan lembaga2 pendidikan tinggi Muslim di Thailand Selatan dengan bantuan Negara Thailand. Mereka tidak lagi mencari (barangkali tidak lagi diizinkan untuk mencari) bantuan dana dari Negara Arab guna membangun dan memperluaskan institusi2 mereka. Fakultas Kajian2 Islam yang mereka dirikan di Universiti Prince of Songkla dan Universii Islam baru Yala, dan pencarian beberapa wacana untuk masuk dalam Sistem Thailand daripada membuang-buang waktu untuk melawan Kerajaan itu, merupakan projek yang besar. Kendati demikian, mereka tetap mengakui bahwa wacana para pemberontak yang menyerukan Perang Suci untuk membebaskan Patani dari “belenggu” Thailand saat ini memperoleh perhatian yang lebih besar dari sebagian massa.
>Pada gilirannya dalam konferensi itu, para pejabat pemerintah dan militer Thailand berupaya mengemukakan sungutan2 warga Muslim biasa di Thailand Selatan dan mengemukakan peningkatan keberhasilan di mana para pemberontak menawarkan “perjuangan yang Islami” untuk kemerdekaan sebagai jalan keluar.
Orang2 Pemerintah dan Militer
>Krissada Boonratch Wakil Gubernur Yala dalam konferensi itu menyatakakan bahwa distorsi2 dari pelajaran2 agama Islam yang benar merupakan motivasi para pemberontak. Di beberapa sekolah agama yang diawasi dan dibiayai pemerintah, anak-anak berumur sepuluhan tahun memperoleh pelajaran bahwa Tuhan menginginkan agar mereka menempuh jalan Jihad.
>Karena itu, para pemimpin Islam harus maju ke depan dan memberikan contoh yang benar mengenai Islam yang dapat mengesahkan dan menyokong Negara Thailand. Ajaran seperti itu akan mengurangi tindak kejahatan. (Perubahan yang terjadi ini akan ada sempatan untuk ‘ulama’ dan akademik2 Patani yang didikan Saudi untuk mereka dapat berkembang di bawah Sistem Negara Thailand sebagai partner junior). Akan tetapi, “kami masih menangkap lebih dari 4000 orang yang dicurigai, sebagian besar mereka berusia 35-40 tahun” (=mereka jelas bukan anak-anak belia yang masih mudah rangsang secara emosional, akan tetapi Muslim Melayu yang sudah matang yang memilih jalan hidupan mereka dengan pertimbangan pengalamannya selama bertahun-tahun dengan Kerajaan2 Thai dan orang Buddha).
>Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach mengakui bahwa pemberontakan melibatkan nombor agak besar dari orang Melayu Muslim, dan bahkan setelah lima tahun berperang, tentaranya masih belum mengetahui siapa yang dilawan. Udomsak menunjukkan pikiran analitis yang sangat fleksibel: dia merasa bahagia lahir sebagai orang Budha akan tetapi ia juga belajar di sekolah Kristen dan juga di Kuil Budha, dan bahwa dia juga memiliki teman-teman Hindu dan Muslim. Watak konflik yang rumit telah mengganggu katagori-katagori pikirannya. Ia tahu bahwa agama yaitu Islam telah menjadi tempat berkumpul (rallying–point) di mana para pemberontak telah membawanya ke dalam konflik Selatan untuk menciptakan kebencian. Banyak penganut Buddha di Thailand lebih siap menyatakan bahwa Islam dalam bentuknya seperti di Timur Tengah dapat mendorong pemberontakan di Patani daripada mengakui identiti dan sejarah orang Melayu Patani yang khusuus. Bagi Udomsok sebagai orang Buddha Thai, pemberontakan tahun 2004 bukanlah didorong oleh impian menghidupkan kembali Kesultanan Patani Raya yang merdeka, yaitu kerajaan yang pernah dibasmikan Thailand pada pergantian menuju abad-20.
>Segi serius dan sungguh di-dalam posisi2 Udomsak Thamsarorach terhadap perdamaian, kini, justru menjauhi Islam dan kekhususan Melayu, — yaitu ciri-ciri khusus kebudayaan Patani, — yang hujungnya membuat konflik menguat. Konflik sesungguhnya berasal dari persoalan yang juga terjadi di propinsi lain di Thailand yaitu meliputi distribusi Negara atas kekayaan dan keterbelakangan yang berlangsung hingga bertahun-tahun didalam Selatan. (Kondisi ini misalnya terjadi di kawasan Timur Laut Thailand dimana berduduk Isan yang bercakap di-bahasa Lao: satu golongan yang sudah menderita kemiskinan dan diskriminasi untuk waktu yang panjang melalui dekad-dekad). Sebuah perasaan bahwa mereka mengalami diskriminasi, menjadikan sebagian orang Patani mengangkat senjata untuk melawan demi keadilan, sebagaimana yang lihat Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach itu. Kata dia bahwa semua staf dalam angkatan bersenjata Thai ingin menemukan solusi melalui cara-cara yang damai: “kita melakukan yang terbaik mungkin untuk menyelesaikan persoalan keamanan”. Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach dalam hal ini percaya bahwa sebuah sumber pokok dari kebencian adalah kekerasan yang dilakukan oleh tentara dan polisi Thailand di-atas orang Islam. Tentara harus dapat membuat kerjasama yang kongkret dengan para penduduk biasa yang masih membisu, dengan jalan mengenakan kontrol yang tegas terhadap tentara dan orang-orang pemerintah. “Jika praktek-praktek yang salah masih terjadi maka harus ada hukuman untuk menghentikan kesalahan2 itu. Masing-masing harus memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini”.
>Akan tetapi, mampukah tentara, polisi dan agen pemerintah Thailand membuat langkah-langkah seperti itu agar orang Patani bersedia bernegosiasi? Pengadilan dan hukuman2 yang sama untuk orang Melayu dan orang Buddha dia jalan yang satu-satunya untuk meyakinkan banyak Muslim agar mereka merasa “bermakna” untuk memanggil dirinya sebagai orang Thailand.
>Letnan Jenderal Udomsak Thamsarorach merasai keazaman pemberontak yang seperti batu granit dan tidak ambil berat kepentingan2 duniawi dan korban2. Para pemberontak memiliki strategi jangka panjang bahwa mereka tidak menginginkan otonomi, tetapi bantuan internasional untuk memisahkan diri dari Kerajaan Thailand (=Negara2 Arab dan Islam dan Negara Asia Tenggara yang menggunakan Melayu sebagai bahasa komunikasi). Mereka berupaya menciptakan aktor dan faktor sebanyak mungkin. Untuk meningkatkan saling kebencian antara Melayu dan Buddha di Thailand Selatan mereka menyebarkan ajaran jihad “yang telah di-memutarbelitkan” untuk memberikan justifikasi pemisahan diri dari Thailand.
>Mereka (orang pemberontok) secara sengaja memotong kepala orang-orang Buddha untuk menciptakan histeria. Negara Thailand tidak mudah mengkonter distorsi2 ajaran2 agama semacam ini. Pemerintah Thailand dan organisasi yang berkaitan denganya seharusnya memperkuat produksi literatur2 dari agamawan Muslim yang kooperatif agar teks-teks keislaman ini dapat memberikan justifikasi terhadap kedaulatan Negara Thailand. Akan tetapi, banyak penduduk di daerah pedalaman desa tidak dapat membaca, sehingga meskipun berbagai booklet itu didistribusikan kepada rakyat jelita di bawah di kampung2, dan itu sangat sulit dilakukan, hal itu mumkin tetap akan gagal untuk meyakinkan kepada audience yang dituju mengenai ajaran Islam yang benar yang mensyaratkan Muslim menerima pemerintahan
>Di atas semua itu, Udomsak adalah orang yang sangat realistis, dan kadang2 liberal. Kaji selidiknya yang umum menunjukkan bahwa tentara Thailand tahun 2009 ini perangkan melawan gerakan nasionalis Melayu Islam sebagai suatu yang mencengangkan —- mereka tidak faham musuh Muslim mereka.
>Siripong Hudsiri datang dari Pusat Administerasi Propinsi perbatasan Selatan (SBPAC), penerus sebuah institusi sebelumnya yang didesain untuk membawa pegawai badan2 intelejen, askar2 dan police dan beberapa eks-nasionalis Melayu bersama-sama untuk bekerjasama dalam berbagai kegiatan dan kepentingan: umpamanya seludup dan pengenalan pemuda nasionalist yang baru. Siripong Hudsiri berupaya mendeligitimasi kelompok pemberontak sebagai kelompok yang sangat kecil. Rakyat biasa mendengar bom dan desingan peluru setiap hari, akan tetapi semua itu sesungguhnya bukan suara mereka, akan tetapi suara segelintir orang saja. SBPAC telah melakukan berbagai dialog dengan penduduk Muslim. Tetapi, Siripong juga mengambil kesimpulan bahwa rakyat yang para pemberontak bergerak diantaranya juga semakin marah dengan kemiskinan mereka dan rendahnya tingat pendidikan di-Selatan: sebagian ada yang merasa bahwa Negara Thailand tidak memperlakukan mereka secara adil.
>Begitu demikian, Siripong berpindah dari (a) keyakinan bahwa pemberontak yang jumlahnya sangat kecil yang menimbulkan persoalan, ke arah (b) penjelasan2 dan huraian2 struktural tentang konflik dan kekerasan di Patani. Sebagian dari otaknya mengetahui bahwa sekelompok dari penduduk petani yang telah di-targetkan tengah ditarik untuk solusi yang menawarkan kaum mujahid itu, yaitu untuk membangun lain kali komunitas Muslim yang humanis dan positif dan juga untuk melawan kekufuran. Masyarakat perkampungan telah mengalami perpecahan. dan penghancuran. Para pemuda mulai meninggalkan agama dan menjadi penagih dadah2. Orang tua yang khawatir dengan kondisi tersebut menginginkan semacam institusi masyarakat yang menyatukan kembali komunitas Islam dan masyarakat tradisional. Pemerintah Thailand tidak mampu menghadapi persoalan2 tersebut secara efektif. Hal ini menyisakan kekosongan bagi kelompok lain untuk maju ke depan, Siripong menilai. Karena itulah, beberapa orang tua dapat menerima para pemberontak yang menawarkan pembangunan kembali komunitas social keagamaan.
_ Rakyat Kecil_.
>Banyak orang penting diatang pada konferensi “Agama untuk Perdamaian di Thailand Selatan”. Tetapi, momen yang paling istimewa adalah ketika seorang Muslimah muda mengambil mikrofon. Saudara perempuannya sudah orang biasa yang tidak menyokong pemberontak atau kerajaan tetapi di-bunuhkan “dengan tidak sengaja” di-perang yang kecil ini. Saudaranya tengah pergi ke sekolah di motorkar ketika dua orang teroris yang mengendarai sepeda motor berhenti di belakangnya. Sebuah motorkar besar melaju ke-depan dan menembakkan peluru motor sepeda: tetapi saudaranya tewas akibat tembakan yang nyasar tersebut. Jadi, usaha2 pemerintah untuk memburu para pemberontak harus memakan korban nyawa orang lain yang tidak bersalah. Pemudi yang biasa ini sudah kehilangan sekarang jumlah empat anggota keluarganya. Dia merayukan kepada anggota konferensi agar “mencari solusi, untuk membantu kami”. Dia menyeru kepada hadirin agar “mencoba mendengar suara masayarakat kecil di Thailand Selatan”.
Upaya Mengkonsepsikan Persoalan Seiring Terbatasnya Waktu
>Pada sesi kelompok kecil yang dibuat pada konferensi itu, menjadi semakin jelas bahwa dengan berbagai penderitaan orang-orang Thailand penganut Buddha merasakan hilangnya kontrol Negara mereka atas sebagian besar dari kaum Patani (yaitu wilayah2 kecil Patani, Yala dan Narathiwat yang di-kenakan oleh kerajaan Thai), tetapi mereka masih sangat sulit menerima identitas dan tuntutan orang-orang Melayu itu. Berbagai penjelasan sosial dan ekonomi, yang sementara dapat dipandang benar didalam dirinya, dapat membantu orang-orang Buddha untuk menghindari berbagai ciri khusus kaum Melayu Patani yang harus diberi resources untuk berkembang di dalam Negara Thailand, jika orang Melayu secara sukarela menerima Negara Thailand.
>Di-titik ini, yang paling tidak diterima oleh orang nasionalist Thai adalah bahasa — bahwa bahasa Melayu harus menjadi bahasa rasmi Negara di samping bahasa Thai di-Patani. Diantara Melayu Islam Patani, ada kemarahan dalam institusi-institusi pendidikan yang tinggi, baik sekuler maupun Islam, terhadap “kelaparan” dan “pembunuhan” bahasa Melayu melalui proses sistemik dan panjang selama beberapa dekad oleh Negara Thailand. Sisi positifnya, konferensi untuk pembangunan perdamaian ini telah menawarkan penerjemahan berbagai cerama yang dibacakan dalam bahasa Thai itu ke dalam bahasa Melayu secara simultan. Sudah seperti menjadi keharusan bahwa pemerintah Thailand paksa dari 2008 untuk memasang papan pengumuman yang di samping bahasa Thai juga bertuliskan Melayu-Arab dan beberapa ayat al-Qur’an untuk mengirimkan pesan bahwa memberontak melawan Negara Thailand juga berarti mengingkari kehendak Allah. Ini merupakan tindakan prakmatis dari Negara, untuk mencadangkan bahwa dia tidak musuh Bahasa Melayu. Akan tetapi dalam beberapa tahun barangkali proses menyesuaikan akan menjadi penerimaan yang tulus terhadap keaslian bahasa Melayu Patani yang dipakai Negara — penggunaan rasmi yang bahkan mungkin menghentikan konflik. Hal itu barangkali dapat mengurangi konflik secara signifikan.
Selama dua hari konferensi tentang “membangun perdamaian antara Buddha dan Muslim” itu tidak ada satu pun pembicara yang mengangkat isu agar pemerintah Thailand menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi tulis pemerintah di samping bahasa Thai sendiri. Tuntutan ini oleh para pemuda terdidik yang diyakini dapat menjadi orang 2 nasionalis juga tidak muncul dalam diskusi kelompok kecil di-konferensi. Didalam kumpulan kecil satu yang saya duduk didalamnya, seorang biarawan Buddha mengemukakan se-pintas lalu bahwa sebagian orang di Selatan masih berbicara bahasa Melayu, dan barangkali bahasa tersebut seharusnya diajarkan sebagai mata pelajaran di lingungan satu sekolah Buddha yang lokal untuk membekali para biarawan di Selatan Thailand dalam melakukan dialog dengan Melayu Muslim tetangga mereka dalam kehidupan sehari-hari.
>Bagi sebagian orang Budha Liberal, nampaknya sulit untuk melangkah lebih jauh dan mengkonsepsikan bahasa Melayu sebagai bahasa tulis yang menawarkan khazanah Islam klasik dan literatur modern yang pada tingkat tertentu akan menyaingi khazanah Thailand yang terdiri dari peradaban orang2 Buddha multi bahasa. Setelah satu abad berupaya menggilas bahasa Melayu, menjadi kepentingan pemerintah Thailand sendiri dalam banyak hal untuk menawarkan hubungan patronase dan menfasilitasi bahasa Melayu dengan huruf Arab agar bahasa Thai dan bahasa Melayu Jawi tumbuh bersama-sama sebagai bahasa2 tercetak di era postmodern ini, dan masing-masing orang Melayu dan Budha justru dapat saling belajar dari yang lainnya.
>Akan tetapi ini bukan sekedar persoalan menjelaskan kepada orang-orang Patani bahwa dendam tutun temurun dari Phibul Songram terhadap bahasa Melayu berhuruf Arab telah berakhir. Penyelesaian kompromis untuk rekonsiliasi harus berhujung kepada dirikan penggunaan dua bahasa dalam sekolah-sekolah kerajaan dan berbagai departemen-departemen pemerintahan. Hal itu bukan hanya akan berarti bahwa orang-orang Melayu diberikan kesempatan untuk belajar bahasa Melayu sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah negeri, akan tetapi juga murid-murid Budha di sana harus pula mempelajarinya sejajar dengan bahasa Thai untuk kepentingan penggunaan praktis dalam profesi2 sesudah menyelesaikan sekolah. Patani sesudah proses rekonsiliasi akan menyerupai Quebec didalam federasi Canada: yakni minoritas penutur Inggris yang harus hidup di lingkungan negara Prancis itu di-paksa mengguna bahasa itu di-dalam kehidupannya seharian. Bilingualisme (penggunaan dua bahasa) adalah suatu cara kehidupan yang radikal.
Sikap lemah lembut, dan kemampuan untuk menyeberang batas-batas loyaliti2 pada unit-unit komunal, merupakan ciri khas Budha Thailand yang barangkali dapat berguna bagi mencapai kompromi perdamaian di Patani. Akan tetapi, biarawan-biarawan Liberal barangkali terlalu yakin bahwa pengalaman masa lalu mereka sebagai mediator dalam upaya perdamaian cukup membantu perdamaian dengan orang Islam Patani yang sebenarnya sangat berbeda dari kelompok-kelompok pinggiran manapun yang pernah dibantu mereka untuk melakukan rekonsiliasi pada dekad-dekad sebelumnya. Para agamawan Budha Liberal sangat bangga dengan peranan2 mereka sebagai mediator di Timur Laut Thailand yaitu di wilayah yang sangat miskin yang terisolasi dari Bangkok dalam waktu yang amat panjang. Di sana, biarawan2 membantu menyelesaikan pertikaian antar klan lokal dalam persoalan air dan sumber daya alam yang lain. Para biarawan juga telah membantu rekonsiliasi antara Suku Isan di Timur Laut Thailand dengan pemerintah yang sebelumnya selalu “membabat” mereka di bawah payung Field Marshal Phibul Songgram. Akan tetapi, Suku Isan berbicara dalam suatu bentuk bahasa Lao yang sangat mirip dengan bahasa Thai, yang pemerintah Thailand telah mengganti tuturan lokal bahasa itu dalam beberapa dekad: tentu jauh lebih mudah untuk membangun rekonsiliasi yang konstruktif dengan mereka daripada dengan Patani yang tidak memiliki kedekatan apapun dalam hal bahasa dan agama. Setelah ketegangan yang panjang, sistem Thailand dapat menggabungkan kaum Isan dengan baik dalam Negara mono-kultural yang mereka membangunkan, dan orang2 Isan menjadi anggota2 setia didalamnya.
>Dapatkah sistem Thailand melakukan hal serupa dalam kasus Patani? Kata-kata Ismail Lutfi Chapakia yang tulus bahwa “Orang Thailand Budha dan Muslim sebagai saudara” adalah kemajuan utama dalam pemikiran komunitasnya menuju identifikasi bangsa Thailand yang sejati. Pada sisi yang lain, banyak agamawan Muslim yang bergabung dengan sistem Thailand membawa harapan2 terbatas dengan mereka. Pidato Rektor Isma’il Ali telah menunjukkan betapa lancar dia sekarang di-bahasa kesusasteraan Thai yang sudah menimbulkan kesulitan untuknya di-zaman mudanya. Akan tetapi ia tetap memberikan karakter kepada sistem Thailand sebagai sangat diskriminatif dan melakukan kesalahan terhadap orang Patani hingga sekarang. Ia berupaya memberikan shock terapi kepada orang Thailand liberal.
Beberapa biarawan Budha, aparat pemerintah Thailand, dan militer memahami bahwa beberapa perubahan harus dilakukan. Ini adalah segi positif dari konferensi itu yang menurut ukuran Thailand amat radikal. Akan tetapi, kita harus wait and see apakah mereka dapat menangkap persoalan secara utuh — isu penerimaan kepelbagaian agama dan bahasa, terutama untuk membuat beberapa perubahan segera sebelum Thailand Selatan mencapai satu titik tidak mungkin mengembalikan aman-damai kepada Thailand.
***
Penerjemah Dr. Ibnu Burdah
Pusat Studi Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
From Dennis Walker, Australia.
I would like to respond in a constructive way to Jean Murphy’s post of August 16, 2010 • 3:08 am to my book
ISLAM AND THE SEARCH FOR AFRICAN-AMERICAN NATIONHOOD: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam_ (Atlanta City: Clarity Press 2005). Murphy asks “what this book is about or why you’ve advertised it on this site”. “What does your posting have to do with the Cordoba House?”
Jean, my book has everthing to do with the deep hope of Muslim-Americans who post on “Muslimmatters”
that America will realize its liberal, humanist potential — the pluralism that has made America great because it brings diverse people people together . For that, America must let Arab-Americans and Muslim Americans build institutions as strong as those that Anglo-Americans, Irish-Americans, Catholic-Americans, and above all Jewish-Americans have been allowed to build. The institutions don’t just transmit specificities as groups, they equip the groups to understand each other and thus come together. For a long time, bigots among the Anglo-Americans, violating the tolerance of English culture, tried very hard to stop Irish, Hispanic and Jewish-Americans from building the institutions they had to have to transmit their identity to new generations in America. Indeed, some Anglos refused to recognize that the Irish in America were white, or should have the American rights that their group had.
The efforts of a Muslim group to build a Muslim equivalent of the YMCA two blocks from Ground Zero is a
crucial contest in the drive of Muslim-Americans to make themselves the equal of other American groups by institutionalization that those other groups achieved decades ago. Noone in America who wants to integrate America can try to block the proposed site designed to service the many New York young Muslims who don’t have proper institutions that most other U.S. groups have.
In my book my book _ISLAM AND THE SEARCH FOR AFRICAN-AMERICAN NATIONHOOD: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam_ (Atlanta City: Clarity Press 2005) I traced how the so-called “Black Muslims” pioneered what Muslim Americans are striving to build today. They built the independent nationalist Islamic schools that taught Arabic to successive generations of African-American kids, but blocked Arab governments and Third World Muslims from coming in to take over.
Jean Murphy writes: “The African-Americans in the U.S. now are not a minority, by far. They aren’t suppressed unless they choose that path. There are colleges specifically for the African-American & much more”. You underrate the struggles they had to pass through to build either things of their own or to get into a country where “we were treated as though we were strangers” as the Imam Malcolm X (al-Hajj Malik al-Shabbaz) so truly put it. Some Irish people in America and Australia have been treated as though we were strangers also.
Jean Murphy also questions if “this book of yours stipulates the fact that the slaves brought here so many years ago was done so by other Africans as well as whites? Betrayed by their own”. You underestimate the nuanced, complex intelligence of African-Americans who embraced Islam. Most Black Muslim leaders and thinkers — including Imam Farrakhan —- have specifically mentioned involvement by African “chiefs” in the transportation of enslaved Africans to America. Muslim Matters readers: check this from Dennis Walker, _ISLAM AND THE SEARCH FOR AFRICAN-AMERICAN NATIONHOOD: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam_ (Atlanta City: Clarity Press 2005) .
“I’ve never been a racist even as a child in Iowa. In grade school there were only a few black children & I was friends with each. My neighbor was also black & I was the babysitter for two young children. I applaud any African-American that does well or even better in this country”. But President Barrack Hussein Obama is not among them. I note with alarm that in a separate post you refuse to concede the title of Obama to be called President, although elected. Yet America passed a crucial test when most voters appointed an African-American fellow-American to the highest political office in their country. That is hope for the whole world.
In my book, my book _ISLAM AND THE SEARCH FOR AFRICAN-AMERICAN NATIONHOOD: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam_ (Atlanta City: Clarity Press 2005), I deal with the resolve of the hard-right micro-nationalist minority among Jewish-Americans to block the progress not just of Muslim African-Americans but African-Americans in general. That ideological minority does that to seize leadership over that American “Jewish people” by terrorizing ordinary Jews in New York and elsewhereout of their wits.
Were Obama to change just some things about American policy in the Middle East we are thus likely to hear a lot of crying of wolves from Jewish American activists on the internet — and thus to some extent from mainstream Jewish organizations in central American life as well who must be seen to be maintaining the interests of Jews like their hard-right micronationalist rivals. They could not let themselves get outflanked.
If Jewish nationalist denunciations of Obama and the growing role of African Americans in the U.S. central political system continue, this in turn may create a counter-dynamic among the black professional classes who do read the nationalist websites of the Jewish micro-nationalists and to some extent are shaped by them in their development of their own “black nationalist” counter-discourse. In tandem with past destruction of black American congressional representatives by Zionoid Jewish micro-nationalist forces, often involving the expenditure of millions of dollars in U.S. elections, even a spurious continuing fire against Obama from that Jewish micro-nationalist counter-elite is likely to make blacks in politics think quite seriously about contracting the resources for Israel from the system, to make it better serve the needs of black welfare. But the continuing massively violent events in the Middle East are going to force Obama, whether he’d prefer to deal with other issues or not, and fudge this issue or not, to take stands about the policies and actions of Israel and the Islamo-Palestinian nationalists.
My dear brothers and sisters in the English language in America and fi bilaad il-Islaam: read about it all in my book my book
_ISLAM AND THE SEARCH FOR AFRICAN-AMERICAN NATIONHOOD: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam_ (Atlanta City: Clarity Press 2005)
Salaam and Slan Agat
From Dennis Walker, Australia.
.
Dr Dennis Walker says:
August 27, 2010 at 8:35 pm
James Johnson in 2008 hoped too strongly that the Arab-Palestinian minority in Israel is likely any time soon to achieve equal rights under a state of the rule of law. Arab citizens of Israel have suffered internal expulsion and systemic discrimination since the birth of Israel. However, I agree with him that Israel does have some positive things in its modernist institutions and hope that its Arabs one day will benefit from them.
_Political Power of Western Jews in Israel in the 1950s and 1960s: Voices from Arabic-Speaking Minorities_
by Dr Dennis Walker, Monash Asia Research Institute, Australia
Left Zionism in East and Central Europe and in Palestine was a superbly-crafted state-instrument to lift working-class and lumpen Yiddish-speaking Jews up to bourgeois status and modernity. The Zionist settlement (Yishuv), kibbutzim (collective farms) and trade unions and their socialist facilities firstly in Palestine then from 1948 in the Jewish state of Israel were designed to offer education, health, empowerment and political power to Ashkenazi Jews. The power that once down at heel and bullied Jewish populations from Europe exercized over oriental Jews and Arabs in the state of Israel, though, was not much designed to help those other groups grow in wealth and power.
_Oriental Jews in “Israel”_
The Jews in the Iraqi-Syrian Fertile Crescent, Egypt and the other Arab countries lived in peace and harmony with their Christian and Muslim compatriots for many generations. Syrian-Iraqi Liberalism and tolerance made the Syrian-Iraqi Jews most unwilling to go to the Zionist state. Iraqi Jewish residents in “Israel” charged that the Western Zionists and their emissaries organized bombing campaigns in Iraq under the monarchy to terrorize Iraqi Jewry into migrating to Israel.
Iraqi and Egyptian Jews charged that the Western Jews who received them in “Israel” had racist attitudes. As a group of Iraqi Jews stepped from their plane the only person waiting for them on the tarmac was dressed in anti-septic medical clothing, wore a sanitary mask and sprayed them with insecticide as though living in “Arab country had polluted them and made them unclean.
The militant spokesmen for Oriental Jews in Israel charged that the white Western Jews in charge of Israeli education were straight racists who wanted to deculturize and degrade the Oriental children they taught.
Michael Selzer was a militant Oriental Jewish activist in the 1960s. He voiced his rage in an article “The Trouble with Israeli Education” published in the _New Outlook_ of October 1965. He observed bitterly that “the Israeli educational network is, evidently, incapable of meeting the educational requirements of children of Oriental Jewish stock whose number (proportionally to the population of their age groups) in secondary schools and at universities are only a half and a quarter respectively of what they should be.” Selzer argued that this fact was fraught with the most alarming implications for Israel. It was clear that the identification of “poor and backward” with “Oriental”, so dangerously noticeable in the current generation of immigrants, was already destined to apply to the next generation as well. “The feelings of frustration and discrimination, the tensions and hostilities generated by this phenomenon, so inimical to the healthy evolution of Israeli society are, it seems, likely to continue as an enduring feature of Israel’s social scene. The fire under the Israeli educational melting pot is flickering dangerously”. As regarded Western Zionist educationalists “we find a kind of white man’s burden. Norman Bentwich’s cultural ethnocentrism and that of the educational system of which he writes is no less than fantastic.”
Selzer wanted an educational system in “Israel” that would transmit literary Arabic to new generations of Oriental Jews, but in vain. “It is indicative of the way the Ministry of Education is preserving the image of each community that, apart from the evidence presented above, three percent of Israel’s Jewish school children are currently learning Arabic”. For Selzer, literacy in Arabic would give young oriental Jews access to their own ethnic heritage and to the wide Arab world. “Hebrew University’s John Dewey School of Education announced that it was launching a large research project to discover ways in which Oriental children “might better be adapted to the Western orientation of Israel’s school program”. In response to this cultural genocide, Selzer observed bitingly that “Israelis are avid cultural pluralists – but only in defending the rights of Soviet Jewry or in persuading American Jews not to ‘assimilate’ “. In Israel itself, the ruling Western white Jewish minority mercilessly crushed the discrete cultures of all other ethnic groups.
The greatest pain was that felt by the Oriental Jewish intellectual “graduating (despite obstacles) from high school and perhaps university and forced to the explicit realization that his own identity and that of his ancestors has no validity in the state of Israel and that his only hope is to renounce his own identity still further and to assume the habit of the European Jew. Israel’s education system is playing a major part in ensuring the new generation will feel no less alienated and resentful. It is not only perpetuating the communal clash, but in placing it on a more profound and permanent basis”.
A few bolder Israelis charged with “hypocrisy” the Israeli governments that until 1973 sent developmental experts to Black African countries while leaving Oriental Jewish migrants to vegetate in squalor in Israel itself. One such critic was David Hardom, who in 1965 wrote that “the word, backwardness, gave me a shock”. “He was quite right, of course: backwardness, in our own backyard. We send people without end to far away countries in Asia and Africa – instructors, doctors, engineers, scientists, teachers, all kinds of experts. There is less of a rush to go to the backward immigrant settlements in Galilee and in the south – and where are the people who will bring development and progress to the Arab villages amongst us?” (David Hardon: “Meeting With Young Arabs”, New Outlook, March 1965, pp 37 – 38].
The Israel government kept some oriental Jews caged up without jobs in the mavarot (transit camps) for as long as seven years, dependent on meager state charity. One alarmed article published in the West was “Jewish Gap Widens” from the Tel Aviv office of the Jewish Telegraph Agency. “The education gap between Ashkenazic and Sephardic Jews in Israel has widened in recent years and Sephardim even lag behind Israeli Arabs in academic degrees, according to a survey by Dr. Yaakov Nahon of the Jerusalem Institute for Israel Studies”.
Nahon found that only 6.1 per cent of Sephardic Jews between the ages of 30 – 35 had attended institutions of higher learning by the mid-1980s compared to 28.3 per cent of Ashkenazic Jews in the same age bracket. Among young Arabs, 8.8 per cent held bachelor degrees as opposed to 6.1 per cent of Sephardic Jews. According to Nahon the gap was narrower for the older generation, where 2.7 per cent of Sephardim had an academic background compared to 10.7 per cent of Ashkenazim.
_The Arab Minority_
An impartial and first-hand account of the conditions of Arabs in Israel was given by the Nigerian traveler Olabisi Ajala, _An African Abroad_ (London 1963).
He visited Taiba village, one of the more advanced of the Arab settlements in Israel. “It was thirty five miles off the main highway, over a dusty stony road. The general condition of the village was disgusting. Barbed wire encircled the entire place. The first impression I got was that of a bombed area, neglected and uninhabited. Yet human beings lived here”.
“There was no fresh water, pump, clinic or even an elementary school. The narrow lanes of the village, not proper streets, were untarred. Not a single dwelling had electricity. Falling and dilapidated houses with leaking roofs dominated the scene. I saw dirty, naked children playing a game of hide-and-seek as they dashed from one house to another. This was a sight of horror and poverty at its worst”.
The only presentable building in the village was the newly built police station. Lingering on its steps were a number of Arabs, over whom stood Israeli soldiers, brandishing rifles.
“An ageing, leading member of the community, whose name I cannot disclose, unhappily commented: ‘Before we were brought here, most of us were living in our own homes and on farms in the richer parts of palestine. Then the Jews captured our land and here we are, living like cattle. Our mosques were burnt to the ground by the Jews. Our houses were destroyed and valuable property was confiscated. We became homeless and helpless. Today we are living on the border of starvation not knowing where our next meal will come from… We can’t use the land around here for farming, and the police watch us all the time”.
Ajala saw segmentation and atomization typical of totalitarian race-states. The old Arab told him that they were not allowed to visit other villages or see their relatives around them. “Special permission is needed from the police before anyone can leave the village to buy food. We also have to be accompanied by two Jewish policemen to the city when we have any reason to go there.” (pp 175-6)
A Negev bedouin, Abdul-Muhammad Dahi, told Ajala that “he and the members of his tribe were shipped like a herd of goats from Bersheeba and taken to a remote area where there was no farms and the land was not fertile. ‘We live in camps, tents and broken houses surrounded by barbed wire’.”
The Israeli governments’ policy of starving the segregated Arab schools of text-books, funds, and even buildings in which to hold classes persisted over the decades. In 1980 Muhammad ‘Abri Nassar, Chairman of al-’Arrabah’s local council, vented the anger of the Arab minority in Israel at the state’s failure to build classrooms for Arabs. “It would be pointless to yet once again state the lethal shortages of buildings and classrooms which on the Ministry of Education’s own admission has now reached 1,300 rooms. It would be equally inane for the Government to keep on talking about the grant of 80 million Israeli lira released for this year when it was really supposed to have been allocated for last year and has now lost more than half its real value” (through inflation). “Nor do we stand to get anything in the end as the Government talks on about releasing any portion of what the Minister called ‘the Reduced Emergencies Budget’ which has no actual existence. Our central demand is that [the Israeli Government] meet the deficit and draw up a properly studied and scheduled plan to solve the problem within a period not exceeding five years. We will not be satisfied with an admission of the problem and declarations of good intentions. Until today… we have not heard of any practical decision to solve this problem”. [“Muhammed ‘Abri Nassar to al-Ittihad: We will Not Feel Any Reassurance Before we See Realistic Solutions to the Crisis of Arab Education”, _al-Ittihad_ 15 June 1980 p. 6].
Israeli courts kept the rapidly increasing minority population hemmed in within the existing housing. The courts could slap savage fines even for minor extensions of existing buildings: in 1980 the al-Afulah court fined villager ‘Ali Mahmud Darawish 100,000 shekels for adding a 74 square metre building to his private house, immemorially the property of his forefathers and within the precincts of Aksal village. [“Haramat Bina’ Bahizah fi Aksal” (Severe Building Fines in Aksal), _al-Ittihad_ 15 July 1980 p. 3].
patani merdeka insya allah
takbir3
sudah lama bumi ku di rampas ….sudah lama saudara ku di tindas….kini…ku mahu mengubahkan na’sib ….ayoh! bangunlah saudara ku dari kelalaian dan kelinaan mu ….
marilah ! kita bersama-sama menegakan hak kita ….
allahuakbar!
Marable’s Biography is a fine contribution to our understanding of Malcolm X
Malcolm was a sincere nationalist and a skilled politician who kept simultaneous good relations with Gamal Abdal nasser and Sau’udi King Faisal — each of whom wanted to destroy the other.
Dear Friends, I have published a book of my own about the Nation of Islam. Please read it.
See below
Dr Dennis Walker
____Australian Writer’s Book on Islam in America: White Western World Recognizes Minister Farrakhan and the Nation of Islam___
The April 2007 issue of _The Journal of American Studies_, England, has published a review of the book of Dr Dennis Walker _Islam and the Search for African-American Nationhood: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam_ (Atlanta, GA: Clarity Press, 2005, $24.95). Pp. 597. ISBN 0 932863 44 2.
The reviewer, JULIE SHERIDAN notes that of “Dennis Walker’s detailed study evaluates the influence of Islamic traditions, tenets and motifs on the formation of a distinctly African American “nationalist” identity. Walker traces the development of Islam in America from its partial cultural embedment during the colonial period (when Muslim slaves were first transported to the British settlements from Africa) to its current, highly politicized manifestation under the guidance of Louis Farrakhan, the
charismatic leader of the revived Nation of Islam (NOI).”
Dr Sheridan takes Walker’s point that Minister Louis Farrakhan has been a constructive leader who has concentrated on building a better future for his people. “Predictably,” she writes “the NOI’s often confrontational stance has drawn vociferous criticism from certain sections of the media, but Walker strives to rescue the sect from the extremist fringe of American discourse by highlighting the quietly integrationist impulses that he believes have always flourished beneath its “nationalistic fig-leaves”.
Though mindful of the fact that the historical trajectory of the African American people differs in crucial ways from that of once-oppressed white ethnic groups, Walker argues that “the process of carving out a distinctive ‘enclave nation’ or ‘micronation’ in defiance of mainstream (i.e. WASP) society has been a rite of passage for all ethnic minorities wishing to penetrate –– and eventually prosper within — that society.
Most white Western scholars outside and even in America now agree on this: the Nation of Islam is peace-loving and constructive and a group that has been positive for American life.
However, Julie Sheridan does defend Jewish nationalist writers and organizations from Walker’s attempts to open them to critical discussion. “In seeking to provide a corrective to what he perceives as the wilful demonization of the Nation of Islam by Jewish American and Anglo-American print discourses, Walker sometimes eschews scrupulous objectivity in favor of what he terms a ‘positive-critical approach’ to the controversial sect. Particularly problematic is his attempt to offer a mitigating context for the notoriously anti-Semitic remarks uttered by Farrakhan during the early 1980s. Walker’s assessment of the ‘harmless’, ‘contrived’ nature of these remarks might carry a little more weight if his study were not so relentlessly skeptical of Jewish American viewpoints on the vexed issue of inter-ethnic relations. In choosing to devote a significant portion of his study to the deconstruction of the “far-from-‘benign’ myth” of a black–Jewish alliance based on a shared historical experience of persecution by white Christians, Walker risks making Jewish American “micronationalists” into the villains of his study. Ill-judged references to “the new Israel-drunk Jewish nationalist elite” and “portly salaried officials of Jewish organizations” do a disservice to Walker’s worthy ambition to intervene in a virulently polemical debate with
a view to “deflat[ing] fears between U.S. ethnic groups”.
African-Americans — and other Americans to whom Minister Farrakhan has provided direction and advice — can get Walker’s book and judge for themselves if he has been unfair to the nationalist minority among Jewish-Americans.
[[Dr Dennis Walker _Islam and the Search for African-American Nationhood: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam (Atlanta, GA: Clarity Press, 2005, $24.95). Pp. 597. ISBN 0 932863 44 2]].
======================================= =
=========================================
===========================================
Dennis Walker, _Islam and the Search for African-American Nationhood: Elijah Muhammad, Louis Farrakhan and the Nation of Islam_
uhammad, Louis Farrakhan, and the Nation of Islam
by Dr. Dennis Walker
Book price: $24.95
ISBN: 0-932863-44-2 * 600 pages
SUMMARY AUTHOR REVIEWS CONTENTS ORDER
Special Discount Offer
Summary
The presence of Islam in America is as long-standing as the arrival of the first captive Muslims from Africa, making Islam one of America’s formative religions. But the long-suppressed indigenous Islam didn’t resurface in organized form until the 1930s, when it infused the politico-spiritual drive by the Noble Drew ‘Ali and the Honorable Elijah Muhammad to address the appalling social conditions of the ghettoized black masses of the North.
Elijah Muhammad’s Nation of Islam would prove to be the most extensive, influential and durable of African-American self-generated organizations. Combining black cooperative entrepreneurship with indigenous Islam-tinged culture and spirituality, the NOI pursued a collectivist nationalist agenda which sought to advance the black masses’ cause–within America or without it. At its collectivist height, the NOI achieved a $95 million empire of interlocking black Muslim small businesses and farms–providing a model for “bootstrap self-development” by the marginalized and dispossessed, worldwide.
Bourgeois elements developed within, or engaged by, the NOI sought to weld a united African-American nation out of a range of classes. Outstanding second generation leaders–Warith Muhammad, Louis Farrakhan and Malcolm X–would further imbed Islam in Black America, and extend its relations into the international community. Their media offered an informed and critical outlook on both domestic and international affairs that often paralleled progressive analysts.
What seems clear, after two monumental marches in 1995 and 2005 to the nation’s capital, is that the NOI and African-American Muslims will have substantial input into the future direction of the African-American struggle.
But it remains ambiguous whether the developing African-American nation will pursue its still-unfulfilled promise through secession, autonomy or long-term integration. To date, indigenous American Islam has been made a bogey by various white elites in order to regiment their own and other ethnic groups.
ISBN: 0-932863-44-2 $24.95 2005
About the Author
Dr. Dennis Walker is a Celtic Australian specialist on Muslim minorities and author of two books on Islam and the national question. He reads five Muslim languages, and is author of numerous scholarly papers, articles and reviews in a number of languages, reflecting his wide travels and areas of interest. He has taught at Melbourne University, Deakin University and Australian National University.
Reviews
“Dr. Walker has drawn a portrait of this movement that deserves the attention of scholars. I strongly recommend it to teachers and students studying or writing
about Islam and the African American experience.”
— Dr. Sulayman S. Nyang, Howard University
“It is not very often books of substance on African Americans, Islam and the Nation of Islam are written to set the record straight, or to reveal the truth about an historical legacy in the making. However, Islam and the search for African American, and the Nation of Islam, by Dr. Dennis Walker is an exception to the rule…
…Dr. Walker’s book sets the record straight for an Islamic, African American and an Arab historical connection, the influences and impacting maze of geographical history, as well as the search for African American nationhood in the 21st century.
This well documented book offers several defining points of views coupled with the elements of societies’ Black History, The Nation of Islam, race, class, and culture. Dr. Walker’s book also strengthens and confirms the longstanding relevance of media knowledge and networks within the African American communities and its impact on domestic and international relations.
Islam and the search for African American Nationhood is an extensive scholarly treasure trove of African, Arab and Islamic history. This timely study on Islam and the African American movement and its leaders is worthy reading, yet goes beyond the expansion of the African American experience and its search for Nationhood.”
— Leila Diab in Muslim Journal
Table of Contents
INTRODUCTION
GLOSSARY
I. THE NATION OF ISLAM AND ITS SUCCESSORS AFTER 1975: FROM
MILLENARIAN PROTEST TO TRANS-CONTINENTAL RELATIONSHIPS
1: TO ELIJAH MUHAMMAD’S DEATH IN 1975
The Black Muslims’ Original Millenarianism
The Drive for a New Economy and a New Language under Elijah Muhammad
Theological Adjustments up to 1975: the Emergence of Warith ud-Deen Mohammed
Arab World Attitudes to Black Muslims to 1975
2: POST-1975 BLACK MUSLIM MOVEMENTS
Relations with Other Faiths, especially Christianity,under Warith’s Leadership
Coalitionism: The Farrakhan Group’s Attitudes to Christianity
3: RESPONSES TO THE POST-1973 SOCIAL CRISIS
The Muslim’s Struggle Against Ghetto Decay, Crime, and Black Lumpen Sub-Culture
From Elijah’s Rhetorical-Secessionism to Frank Integration
4: POST-1975 ATTITUDES TO OVERSEAS MUSLIMS AND AFRICANS
Black Muslim Attitudes to Israel and Middle Eastern Affairs
The New NOI Starts to Empathize with Powerless Whites in America
The NOI and Overseas Islamists
Cargoism
Black Muslim Attitudes to Africa Below the Sahara
Farrakhan and Ghana: 1986
Africa in the 1990s
5: THE RISE OF FARRAKHAN: THE CHALLENGE FOR WARITH
1984: Farrakhan and the Jews
Farrakhan and the East’s Orthodox Islam
Ongoing Millenarianism
The Farrakhan-Warith Contest to 1990
6: MATURE WARITHITE ISLAM
Classical Muslims and the Modern West
Jews’ and Arabs’ Ongoing Input into African-American Identity
II. AFRICAN ISLAM IN THE EVOLUTION OF THE AFRICAN-AMERICAN NATION:
FORMATION AND DEVELOPMENT OF AMERICA’S MULTI-ETHNIC SOCIETY
1: ISLAM IN AMERICAN SLAVERY
Power and Dialogue
Jihad? Integration?
Syncretism or Dissimulation?
Atoms from Islam Transmitted Down New Generations
Post-1960 Reactions to Slavery and Forced Assimilation
The Evolving Critique of Christianity
Original Languages and 20th-century Nationality
2: JEWISH PARTICIPATION IN SLAVERY AND SEGREGATION
3: THE ANGLO-AMERICANIZATION OF OTHER WHITES AND THE
FORECLOSURE OF MICRONATIONALISMS
The Formation of the Ethnic Groups
Ethnic Entry into the American Parliamentarist Political System
4: EARLY ELITE BLACK HISTORIOGRAPHY VIS–VIS ISLAM
Christianity Marginalized
Arabic Writings of Africans Recycled
Qualified Identification with the Wider Arabo-Islamic World
Muslim Slave-Trade Palliated?
The Long-Term Legacy for Scholarship
New Historiography Unites Diverse Black Classes and Groups
Long-Term Patterns of Meaning
III. THE DIFFICULT REBIRTH OF ISLAM AMONG AFRICAN-AMERICANS, 1900-1950
1: SOCIAL CHANGE AND THE BIRTH OF THE MOORS
The Social Crisis in Which Indigenous Islam Took Form
African-American Relations with Jews in the Early Twentieth Century
2: THE MOORISH SCIENCE TEMPLE OF AMERICA
3: THE GARVEYITE MOVEMENT AND ISLAM
UNIA Interactions with Middle Eastern Muslims
The Garveyites’ Responses to Muslim Insurrection Overseas
Garvey and Zionism
The Shifts and Opening to Islam in Religion
The Moors and Political Black Nationalism
4: THE MOORS EVOLVE
Increased Awareness of Third World Muslim Countries and Concepts
Purist Rejection of Arab Authority in Islam
5: JEWISH-BLACK INTERACTION AND THE EARLY NOI
Black-Jewish Cultural Relations
WASP and Jewish Distortion of African-American Culture
Ameliorism by Jews and Black American Self-Formation of Identity
6: THE NATION OF ISLAM
IV.THE HEYDAY OF ELIJAH:
HIS ARTICULATION OF IDEOLOGY IN THE 1960S AND 1970S
1: ELIJAH’S PERIOD CONTEXT
The Emergence of Bourgeois Nationalism Among African-Americans
2: NOI PROTEST RELIGION
The Threat to White America
Anti-Christianity
Arabic and Islamic Elements in the Hybrid, Composite Religion
Monotheism
Secession from Islam?
3: RESISTANCE AND ACCOMMODATION TO WHITE AMERICA
Attraction to Creativity by Whites
Economic Affiliation to America?
Parliamentarism, U.S. Institutions
Southern Background and Regionalism
U.S. Prisons
4: THE IMPACT OF ARABS AND MIDDLE EAST ISLAMS
Middle Easterners and the Borders of World Black Community to 1975
The Patterns of Ideology and Discourse to 1975
V. ELIJAH MUHAMMAD’S MUSLIMS IN A CHANGING AMERICA
1: THE NOI IN ECONOMIC MODERNIZATION OF BLACKS
Class Status Shifts Through Conversion
kalau ada masa eloklah kita rujuk perjuangan umat islam di negara lain….jadikan iktibar apa yg dah berlaku.
betul tu pendapat puan Azimah
semoga umat islam di pattani bisa meraih kemerdekaan atas penjajahan…
jangan pernah patah semangat..
merdeka!!!!!
gO..gOoo paTani .. mErdeka..
insya allah….. kami akan membunuh penjajah syaiton untuk kebebasan kami di patani ,patani ku merdeka…
patani raya akan kembali ,syaiton siam akan hilang dan hancur ..
Perjuangan melalui pena, kecerdasan dan diplomasi di PBB lebih elok dan cantik untuk meraih kemerdekaan yang sejati…..amien ya rabb al amien.
Mari kita umat Islam dunia bersatu untuk membela kemerdekaan saudara kita yang ada di Pattani.